HAKEKAT BID'AH DALAM KAJIAN KITAB KUNING

HAKEKAT BID'AH DALAM KAJIAN KITAB KUNING - Hallo sahabat Balungsantri.tk, Pada sharing kali ini kami membagikan artikel yang berjudul HAKEKAT BID'AH DALAM KAJIAN KITAB KUNING, saya telah menyediakan Semua Artikel lengkap dengan penjelasan nya dari awal sampai akhir Postingan. mudah-mudahan isi postingan yang saya tulis ini dapat anda pahami. okelah, ini dia artikel dari kami.

HAKEKAT BID'AH DALAM KAJIAN KITAB KUNING
Judul Artikel : HAKEKAT BID'AH DALAM KAJIAN KITAB KUNING

lihat juga


HAKEKAT BID'AH DALAM KAJIAN KITAB KUNING

bid'ah hasanah
Imam al-Raghib al-Asfihani dalam kitabnya Mufradat al-Qur'an mengatakan bahwa kata al-Ibda' mempunyai makna menciptakan (mengadakan) pekerjaan tanpa meniru dan mengikuti contoh yang lain. Ketika lafadz-lafadz tersebut digunakan (dinisbatkan) pada Allah SWT, maka kata al-ibda' mempunyai pengertian bahwa Allah SWT adalah Dzat yang menciptakan atau mengadakan sesuatu tanpa menggunakan alat dan bahan (materi), juga tanpa zaman (waktu) dan tempat. Yang demikian ini hanyalah berlaku bagi Allah semata.[1] Allah SWT. berfirman:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ.
"Allah pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya "Jadilah" lalu jadilah ia." [Q.S. al-Baqarah: 117].

Imam Ibnu Atsir dalam kitabnya al-Nihayah mengatakan bahwa bid'ah terbagi menjadi dua, bid'ah al-Huda (baik) dan bid'ah al-Dlalal (sesat), yaitu sesuatu yang tidak sesuai (bertentangan) dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Bid'ah semacam ini termasuk dalam kategori perkara yang dicela, dikecam dan diingkari oleh syara'. Adapun perkara-perkara yang yang termasuk dalam keumuman sesuatu yang disunahkan dan dianjurkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka semua itu termasuk dalam kategori perbuatan yang terpuji, walaupun perbuatan itu sebelumnya belum pernah ada, seperti sifat dermawan dan mengerjakan perbuatan ma'ruf. Semua itu termasuk dalam kategori perbuatan-perbuatan yang terpuji dan tidak boleh dikatakan bahwa hal itu bertentangan dengan syara' karena sungguh Nabi SAW telah menjanjikan pahala bagi orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Beliau bersabda: "Barang siapa melakukan suatu perbuatan yang hasanah (baik) maka baginya pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari orang yang mengerjakannya."  Sebaliknya beliau bersabda: "Dan barang siapa melakukan suatu perbuatan yang sayyi'ah (jelek) maka baginya dosanya dan dosa dari orang yang melakukannya." [H.R. Muslim dll.]. Sedangkan perbuatan jelek adalah semua perbuatan yang bertentangan dengan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. 

Termasuk dalam kategori ungkapan "Barang siapa melakukan suatu perbuatan yang hasanah (baik)." adalah ucapan sahabat Umar: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", yakni ketika beliau mengumpulkan orang-orang untuk bersama-sama melaksanakan shalat terawih berjamaah. Karena hal itu termasuk dari perbuatan baik dan termasuk dalam kategori perbuatan yang terpuji, maka beliau (Umar) menamakan sebagai bid'ah dan memujinya karena Nabi SAW tidak pernah melakukan perbuatan itu (mengumpulkan orang-orang untuk melakukan shalat terawih berjamaah) sebelumnya. Hanya saja beliau (Nabi SAW) shalat beberapa malam lalu meningggalkannya. Beliau tidak melanggengkannya dan beliau juga tidak mengumpulkan orang-orang untuk mengerjakannya. Hal itu juga tidak terjadi di zaman Abu Bakar RA. Oleh karena itulah beliau sahabat Umar RA mengatakannya sebagai bid'ah yang pada hakekatnya adalah sunah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Berpegang teguhlah kamu semua terhadap sunahku dan sunah khulafaurrasyidin sesudahku." [H.R. Ibnu Majah dll.]. Nabi SAW juga bersabda: "Ikutlah kamu semua kepada dua orang sesudahku yaitu Abu Bakar dan Umar."  [H.R. al-Thabrani dll.].

Dari uraian di atas dapat disimpulakan bahwa yang dimaksud dengan hadits: "Setiap perkara yang baru adalah bid'ah." adalah sesuatu yang bertentangan (tidak sesuai) dengan dasar syari'at dan tidak sesuai dengan sunah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam kitabnya Mafahim Yajibu an Tushahaha, beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bid'ah dalam hadits itu adalah bid'ah yang jelek yang tidak sesuai dengan dasar-dasar syariat. Redaksi hadits semacam ini banyak kita temukan pada hadits-hadits Rasulullah SAW, seperti hadits:

1.       "Tidak ada shalat di hadapan makanan." Para ulama berkata, yakni shalat yang sempurna.

2.       "Tidak beriman diantara kalian sehingga dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri." Para ulama berkata, yakni iman yang sempurna.

3.       “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman dan  demi Allah tidak beriman.”, Rasul menjawab, "Orang yang kejahatnnya tidak membuat aman tetangganya.”

4.       “Tidak masuk surga orang yang tukang fitnah dan adu domba….” atau “Tidak masuk surga orang yang memutuskan hubungan silaturrahim dan orang yang durhaka kepada orang tuanya.” Para ulama mengatakan bahwa sesungguhnya tidak akan masuk surga orang yang menghalalkan perbuatan itu.

Kesimpulannya bahwa para ulama tidak memahami hadits sesuai dengan teksnya saja, tetapi mereka juga menakwilkan dengan berbagai macam takwil. Sedangkan hadits yang menerangkan bid’ah ini termasuk hadits-hadits yang menjadi pembahasan utama seperti di atas, maka keumuman hadits dan kondisi para sahabat telah memberikan arti bahwa yang dimaksud dengan bid’ah di sini adalah bid’ah yang jelek (tercela).[2]
 
Orang-orang yang mengingkari terhadap adanya bid’ah hasanah selalu berargumen bahwa hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, lalu mereka mengambil kesimpulan bahwa segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dianggap sesat dan tidak sesuai dengan syariat agama Islam. Allah SWT berfirman:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا. [الحشر/7]
“Apa yang telah diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." [Q.S. al-Hasyr: 7].
Dalam ayat tersebut Allah tidak berfirman: “Dan apa yang tidak dikerjakan oleh rasul maka tinggalkanlah.” Dalam ayat tersebut Allah SWT hanya melarang untuk meninggalkan sesuatu yang telah dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu maka jauhilah dia.” [H.R. Muslim dll.]. Rasulullah SAW tidak mengatakan: “Dan apabila aku tidak pernah melakukan sesuatu maka jauhilah sesuatu itu.”

Marilah kita renungkan kedua dalil di atas. Setiap akal yang sehat, yang terbebas dari rasa dengki dan hasud pasti akan menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW belum tentu sesuatu itu haram atau bahkan sesat untuk dikerjakan. Karena pengharaman dan penghalalan suatu perkara harus berlandaskan pada nash, baik itu dari al-Qur’an maupun al-Hadits yang melarang terhadap sesuatu itu. Bukan berdasarkan “kaidah”: “Bahwa rasulullah tidak pernah melakukannya.”

Oleh karena itu, barang siapa menganggap keharaman suatu perkara dengan argumen bahwa Nabi SAW tidak pernah melakukannya, maka sungguh argumennnya itu tidak berdasarkan dalil dan tertolak.

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diceritakan bahwa suatu hari Khalid bin Walid bersama Rasulullah SAW masuk ke rumah Maimunah, kemudian beliau diberi hidangan berupa biawak (dhab) panggang. Rasulullah SAW sempat menjulurkan tangannya, kemudian Rasulullah SAW diberi tahu bahwa Itu adalah dhab. Akhirnya beliaupun mengangkat tangannya, tidak jadi mencicipi hidangan itu. Khalid bin walid bertanya kepada Rasulullah: “Apakah itu haram wahai Rasulullah ?”, beliau menjawab: “Tidak, akan tetapi hidangan itu (dhab) tidak terdapat di negeri kaumku.” Khalidpun akhirnya menyantap hidangan itu di hadapan Rasulullah SAW.[3] Dalam hadits tersebut terdapat kaidah ushuliyah: ”Bahwa sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW tidak berarti sesuatu itu hukumnya adalah haram.”[4] 

 

[1]  Al-Hafidz Abu al-Fadl al-Shiddiq, Itqon al-Shan'ah Fii Tahqiqi Ma'na al-Bid'ah, 1.
[2] Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahaha, 102-103.
[3] Shشhih Muslim, Hadits no. 1945.
[4] Al-Hafidz Abdullah al-Shiddiq, 6.

Sumber : http://altsubuty.blogspot.com


HAKEKAT BID'AH DALAM KAJIAN KITAB KUNING

Sekian Artikel HAKEKAT BID'AH DALAM KAJIAN KITAB KUNING, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian Terimakasih atas kunjungan anda di www.balungsantri.tk .

Anda sedang membaca artikel HAKEKAT BID'AH DALAM KAJIAN KITAB KUNING dan artikel ini url permalinknya adalah https://pesantrenkilatbro.blogspot.com/2014/06/hakekat-bid-dalam-kajian-kitab-kuning.html Semoga artikel ini bisa bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "HAKEKAT BID'AH DALAM KAJIAN KITAB KUNING"

Posting Komentar